Assalamualaikum,..Di atas hamparan batu kerikil putih di bawah pohon
besar Bindeng aku melihat Abraham duduk bersila, tangannya terlilit
tasbih kecil terbuat dari kayu kaokah, badannya bungkuk merunduk seperti
tidur duduk karena kecapaian atau seperti seorang yang terlalu lama
berdzikir sehabis sholat subuh. Jubahnya tampak terang dalam gelap
separuh malam, tapi Abraham tidaklah tidur, dia sedang menangis
sesunggukan. Air matanya jatuh menimpa Al-Quran yang berada di
tangannya, bunyi sunggukannya terdengar sampai 50 meter dan air matanya
membasahi mushaf sampai lembar ke dua ratus seolah seluruh cairan dalam
tubuhnya disiapkan untuk menjadi air mata. Di samping kanan kirinya
berjejer kuburan-kuburan lama dari kerabat-kerabat pengasuh pondok
pesantren termasuk kuburan Kiai Abdul Hamid pendiri pondok ini.
Aku mengintip Abraham dari balik pohon Mangga yang gelap tak
berlampu, kini sudah pukul dua malam, semua lampu di kamar-kamar sudah
dimatikan apalagi malam ini adalah malam Ahad, tidak terlalu ramai orang
berada di Pesarean, berbeda dengan malam Jumat dan Selasa dimana semua
santri berkerumun di pinggir-pinggir makam menunggu butiran barokah
jatuh ke tangan yang sengaja ditengadahkan. Tetapi malam ini bukan
malam Selasa atau Jumat, malam ini adalah malam Ahad. Inilah malam
Abraham. Malam yang olehnya dijadikan waktu bersemedi di atas hamparan
batu kerikil putih di bawah pohon Bindeng, yang konon pohon ini dihuni
oleh para jin berbentuk-bentuk aneh, akan jatuh dari atas pohon untuk
menguji para santri yang berdzikir larut malam, kadang jatuh berbentuk
pocong, kadang juga berbentuk makhluk besar bermata satu yang menakuti
santri dengan menjatuhkan ingus dan ilernya dari atas pohon atau berupa
macan tutul dan ular besar berkepala dua.
Tapi itu semua tidaklah berarti bagi Abraham, malam ahad tetaplah malam Abraham, orang yang semula tidak aku tahu asal-usulnya. Setiba-tiba muncul di kamarku 15 hari yang lalu ketika aku bangun tidur siang. Aku sangat terkejut di siang itu, saat bangun tidur di sebelahku ada orang aneh dan asing. Dia tidur menggunakan jubah dan bersorban, juga tasbih melingkar di tangannya. Aku sempat linglung seraya langsung berdiri dan keluar dari kamar mencari seseorang yang bisa dicari informasi tentangnya. Ternyata di pojokan serambi Masjid ada Khoirul sedang asik membaca Fathul Wahab, aku mendatangi dan duduk di sebelahnya.
Tapi itu semua tidaklah berarti bagi Abraham, malam ahad tetaplah malam Abraham, orang yang semula tidak aku tahu asal-usulnya. Setiba-tiba muncul di kamarku 15 hari yang lalu ketika aku bangun tidur siang. Aku sangat terkejut di siang itu, saat bangun tidur di sebelahku ada orang aneh dan asing. Dia tidur menggunakan jubah dan bersorban, juga tasbih melingkar di tangannya. Aku sempat linglung seraya langsung berdiri dan keluar dari kamar mencari seseorang yang bisa dicari informasi tentangnya. Ternyata di pojokan serambi Masjid ada Khoirul sedang asik membaca Fathul Wahab, aku mendatangi dan duduk di sebelahnya.
“Rul, siapa orang yang berjubah di kamar kita itu?” Khoirul melirik dan mengangkat bibirnya sebelah.
“Dia santri baru, dia datang sehabis dhuhur tadi,” jawab Khoirul.
“Kamu tahu dari mana dia?”
“Katanya sih dari Solo.”
“Siapa namanya?”
“Abraham!”
“Siapa?” aku ulangi pertanyaan agar lebih jelas.
“Abraham. Abraham Abdullah.” Jawab khoirul sembari melanjutkan bacaan kitabnya. Akupun diam saja menatap kosong ke pintu kamar.
Pada hari-hari awal dari kedatangan Abraham di pondok, suasana di
kamar masih seperti biasa, artinya tidak ada hal-hal aneh dan janggal,
akan tetapi setelah tujuh hari dia disini barulah aku menjadi gelisah.
Selalu ada hal yang janggal dari tingkah lakunya. Entah ketika dia
berada di Masjid atau di saat bersemedi tengah malam, juga jubah dan
sorbannya yang mengingatkanku pada kelompok aliran-aliran Islam
tertentu, mukanya selalu cemberut dan nyaris tidak tersenyum sama
sekali. Kalau dia berada di depanku dia buang muka. Entah dia malu
padaku atau memang risih.
Setelah ngaji tafsir Jalalain ba’da shalatAshar, aku menceritakan
lagi kejanggalan yang ada di benakku tentang sosok Abraham pada
teman-teman, sekitar ada empat orang yang berkumpul waktu itu.
“Kalian tahu, kini Abraham membuat hatiku selalu gelisah, ada saja kekhawatiran dalam diriku!” ujarku membuka pembicaraan.
“Gelisah gimana, kok bisa?” tanya Ibrozul.
“Iya sudah tujuh hari dia disini tujuh hari pula aku resah.
Begini,dua hari yang lalu dia ketahuan memegang sebuah buntelan kain
warna merah, ketika aku melihatnya dia langsung menyembunyikan di saku
jubah sebelah kiri, dan pasti ada rahasia di balik kain merah itu, kedua
aku sering melihatnya sholat tidak memakai ruku’ dan terkadang hanya
satu sujud, ketiga malam minggu kemaren kurang lebih pukul dua malam
dia terlihat sendirian di bawah pohon Bindeng padahal bukan malam Jumat
ataupun malam Selasa. Anehkan?, terus keempat dia tidak pernah….”
“Ssst… sst…” mulut Rohli memdesis, telunjuknya ditempelkan ke mulut.
“Ada apa Li?” tanya Fathur.
“Abraham di depan kamar!” bisik Rohli.
“Apa?”
“Abraham ada di depan kamar!” ujarnya lebih jelas.
“Ngapain dia?”
“Dia sedang duduk memeluk lututnya” jawab Rohli.
“Apa dia sudah lama duduk disitu?”
“Kayaknya sih, iya” kata Rohli, membuat kami semua diam ketakutan,
pasti Abraham mendengar perkataanku dari tadi, tetapi aku tenangkan diri
memusatkan pikiran supaya semua orang disitu tidak gugup, sebab aku
lihat mata mereka sudah celingak-celinguk panik.
“Sudah, sudah tidak apa-apa, lah wong yang kita bicarakan memang
kenyataan, iya kan!?” seruku pada mereka berempat, supaya mereka tidak
ketakutan, padahal aku sendiri berbicara pelan takut kalau Abraham
mendengar kembali.
Sekelebat sosok lewat di depan kami, dialah Abraham berjalan membuka
lemarinya yang kebetulan di sebelah lemari Fathur, pandangannya sinis
dan murung. Mungkin dia sakit hati mendengar kenyataan tadi, kemudian
dia mengambil sesuatu dari lemarinya, barang yang sering dibawa
kemanapun dia pergi, yakni sebuah buku hitam kecil seukuran saku,
lengkap dengan tempat bolpennya, dia sering menaruhnya di saku jubah
sebelah kanan dan buku itu pula yang memunculkan kecurigaan besar di
benakku. Adakalanya aku menyangka bahwa di dalam buku itu tersimpan
misi-misi terselubung atau daftar nama-nama korban penyesatan. Aku
segera berdiri mengambil baju koko, memakainya dan mencoba melirik ke
arah Abraham, tapi tiba-tiba Abraham menatapku dengan sadis dan tajam
aku terkejut dan langsung kubalas lirikannya dengan pandangan lebih
tajam meskipun pada akhirnya dia mengalah dan menunduk takluk dengan
sorot mataku, dia segera keluar membawa keanehan dan kejanggalan di
balik jubahnya.
Malam itu, tepatnya sehabis shalat Isya’ semua santri berkumpul di
serambi Masjid untuk mengaji kitab Ihya ‘ulumuddin. Pengajian wajib
dengan menggunakan sistem Bandongan dan diasuh langsung oleh kiai Ilyas.
Disepanjang pengajian itulah aku mereka-reka, membayangkan dan
berpikir kuat tentang Misteri Abraham. Tanganku tetap memaknai kitab
tetapi pikiranku sedang menerka-nerka sosoknya, setelah aku sering
menceritakan pada teman-teman, aku merasa masih tidak tenang karena dari
mereka tidak ada tindak lanjut atau solusi sedikitpun.Maka di pengajian
itu pula aku menemukan ide untuk lebih tahu, siapakah Abraham
sebenarnya, supaya kecurigaan ini betul-betul terbukti dan Abraham akan
segera diseret oleh keamanan kerena telah menyamar sebagai santri untuk
menyebarkan aliran sesat. “Baiklah aku akan mulai misi ini!” suara itu
secara spontan keluar dari mulutku tanpa ada seorangpun yang
mendengarnya, sebagai tanda tekat kuat.
Pengajian selasai, untuk malam itu aku tidak mendapatkan informasi
apapun dari kitab Ihyaa’ulumuddin sebab Abraham menyita pikiranku,
pengajian dua jam tak satu pun ilmu masuk ke dalam diriku. Peraturannya
bila telah selesai mengaji kepada kiai Ilyas maka wajib bagi semua
santri segera tidur di kamar masing-masing agar Tahajjud dan subuh bisa
sama-sama didapat, akan tetapi setelah lampu kamar dimatikan, aku
melancarkan misiku, aku mengajak Rohli, Fathur, dan Ibrozul supaya
berkumpul di pojokan kamar.Dengan suara pelan aku meminta tolong pada
mereka bertiga. Aku mengajak ketiganya karena mereka selalu percaya
padaku.
“Saya minta tolong pada kalian.” Pintaku sambil berbisik.
“Apa yang bisa kami bantu?”Tanya balik Rohli dengan berbisik pula.
“Saya punya misi setiap satu di antara kalian adalah satu hari!”
“Maksudnya?” tanya Ibruzul meminta pemahaman.
“Begini, kalian tahukan selama Abraham ada di sini tidak ada seorangpun yang menemani dia” ujarku.
“Iya kami tahu, tapi itukan karena kamu yang menyuruh kami menjauhi dia supaya tidak ikut sesat.” Jelas Ibrozul.
“Lah, iya itu bagus. Tapi sekarang saya minta pada kalian bertiga untuk mendekati Abraham”
“Lohh!” sergah Fathur terkejut.
“Sssst.. dengar dulu,aku belum selesai ngomong. Begini dalam tiga
hari kedepan kita harus berbagi tugas untuk mencari bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa Abraham sesat. Mengertikan maksud saya!?” mereka semua
diam saja tapi setelah saya tatap tajam, mereka langsung mengangguk.
“Kalau sudah mengerti, berhubung sudah jam tidur maka aku akan
langsung bagi tugas sekarang. Untuk yang bergerak di hari pertama. Kamu
Hur!” aku menunjuk Fathur sebagai yang pertama.
“Loh kok saya? Yang lain saja dulu.” Respon Fathur, enggan untuk beraksi di hari pertama.
“Fathur! Kamu jangan membantah, kamu tahu?ini tentang agama, kamu mau
agama kamu dicemari, semuanya nanti juga kebagian tugas, lagian kamu
pinter guyon, gampang beradaptasi.” aku membujuk Fathur untuk bergerak
di hari pertama, dan pada akhirnya diapun mau.
“Untuk hari kedua kamu Zul!” Ibrozul langsung menerima.
“Dan kamu yang terakhir!” aku memandang Rohli dan diapun juga sanggup bergerak di hari ketiga.
“Baiklah, kalau semua sudah kompak, hal yang harus diperhatikan
adalah pertama, jangan sampai kalian menunjukkan gelagat yang
mencurigakan di depan Abraham, ambil sikap biasa saja. Kedua, perhatikan
barang-barang Abraham yang mencurigakan dan sesuatu yang sekiranya
menyimpang dari ideologi kita kalau bisa barang semacam itu diambil
sebagai bukti. Dan ketiga,sekali lagi usahakan jangan sampai dia curiga
melihat kalian melirik barang-barang miliknya. Ngerti?”
“Baiklah kalau begitu sekarang kita tidur, misi akan kita mulai besok,” ucapku mengintruksi.
****
Pada hari pertama kami menjalankan misi sesuai dengan yang sudah
direncanakan, Fathur menjalankan tugas dengan mulus, dia
berhasilmendapatkan perhatian Abraham, Dia juga berhasil mengambil satu
bukti berupa buntelan kain warna merahyang sering disembunyikan di saku
jubah sebelah kirinya. Ketika aku membuka buntelan itu aku terkejut,
ternyata berisi tasbih kecil, juga selembar kertas bertulis surah
Al-Fatihah yang ditulis tanganserta foto hitam-putih seorang kakek-kakek
berkopiyah putih tidak berjenggot dan tidak pula memakai sorban. Aku
curiga kalau orang di foto itu adalah salah-satu pimpinan kelompok
aliran Abraham. aku bungkus kembali barang-barang itu, pertanda satu
bukti telah dikumpulkan.Aku menaruhnya di lemari.
Pada hari kedua Ibrozul bergerak mendekati Abraham, pura-pura menjadi
temannya untuk mengorek keterangan sambil mencari bukti. Dan dia pun
berhasil mejalankan tugas walaupun yang didapat bukan berbentuk barang
melainkan pernyataaan.
“Apa laporanmu Zul?” tanyaku malam itu.
“Saya tidak mendapatkan barang aneh apapun, tapi tadi sore Abraham
berbisik ke telingaku, mengaku bahwa malam Ahad adalah malam sakral.”
Langsung aku terkejut mendengarnya. Kalimat malam Ahad adalah malam
Sakral membuat tanganku gemetar, kenapa tidak!? pernyataan ini sudah
menyimpang dari ideologi para santri yang beranggapan malam sakral
adalah malam Jumat dan Selasa bukan malam Ahad. Pernyataan ini menjadi
bukti kedua, bahwa Abraham memiliki paham berbeda. Aku meminta Ibrozul
supaya nanti menjadi saksi di kantor keamanan dari pernyataan ini.
Beruntung Ibrozul pun mau bila harus menjadi saksi.
Hari ketiga giliran Rohli bergerak, dia harus mempersiapkan diri
terlebih dahulu sebab dia orangnya mudah dicurigai dan sering gemetar
jika melihat sesuatu yang mengejutkan pikirannya namun tetap aku
sarankan untuk bersikap biasa. Dan ternyata hari itu pun berjalan mulus,
Rohli langsung disambut baik oleh Abraham, meski Rohli tidak gampang
beradaptasi dengan orang baru, tapi pagi itu dia langsung berbincang dan
mendengarkan cerita-cerita Abraham tentang Aladin dan Abu Nawas. Aku
mendengar sebentar dari balik pintu kamar kemudian aku pergi ke makam
untuk membaca Al-Quran.
Sore hari di hari ketiga dari hari yang direncanakan sesuatu yang
aneh terjadi lagi, ketika pengajian tafsir Jalalain dimulai dan kiai
Ilyas mulai mengartikan kitab dari ayat pertama surah Al-Ankabut yang
berbunyi Alif-laam-miim, tiba-tiba si Abraham menangis. Aku melihat
matanya berair tapi dia tahan untuk tidak bersuara, air matanya jatuh ke
lembaran kitab menjadikannya basah. Aku memperhatikannya cukup lama
tapi aku tepis perasaan iba di hatiku sebab bisa jadi dia hanya
berpura-pura. Aku akan tetap akan menyelidikinya sebab dua bukti sudah
ada di tangan, tinggal satu bukti lagi untuk menguatkan pernyataan kalau
dia sesat. Tinggal menunggu laporan dari satu orang yaitu Rohli.
Malam ini tepatnya pada pukul sembilan lebih seperempat tadi, adalah
malam yang menegangkan. Kiai Ilyas telah selesai membacakan kitab Ihya
‘Ulumuddin, kitab karangan imam Ghazali. Dua jam berlalu, pengajian
sehabis isya’ telah selesai, pembacaan do’a pun usai. Para santri
berhambur menuju kamar masing-masing. Aku masih duduk di serambi Masjid
menunggu tiga teman datang, ternyata mereka pun datang. Kami duduk
sebentar kemudian kembali ke kamar bersama-sama berkumpul di pojokan
kamar untuk mendengarkan laporan terakhir dari Rohli.
“Aku melihat dengan mata kepala sendiri!” kata Rohli.
“Kamu jangan membesar-besarkan Li,” ucap Fathur tidak percaya dengan laporan Rohli.
“Sumpah Aku tidak mengada-ngada,” kata Rohli menyakinkan.
“Benarkah apa yang kau laporkan tadi?” tanyaku.
“Benar!” jawab Rohli sambil tangannya diangkat sebagai tanda yakin.
“Kalau begitu coba kamu ceritakan lagi dari awal!” pintaku lagi.
“Begini, tadi siang, awalnya aku melihat Abraham sendirian di serambi
Masjid, dia sedang melamun. Makanya aku hampiri saja dia, aku
mengajaknya bicara tapi dia tidak hiraukan aku. Dia tetap diam tidak mau
ngomong, setelah lama aku duduk di sampingnya tiba-tiba dia bicara.
Mengajakku untuk melihat lukisannya, ya aku ikut saja. Aku bertanya
kepada Abraham, dimana dia melukis, dia menjawab melukis di pintu
lemari, aku tanya lagi apa yang dilukis, dia menjawab nanti kamu akan
tahu. Sehabis itu kami berjalan ke kamar mendekati lemarinya. Diambillah
kunci dalam saku jubahnyadan membuka gembok, membuka pintu lemari dan
ternyata tidak ada gambar apapun di balik pintu itu, tidak ada lukisan
apapun di situ tetap berupa kertas karton putih kosong. Aku bertanya
kepadanya dimana lukisannya, Abraham menjawab ‘aku belum melukisnya dan
akan melukisnya sekarang’. Aku diam saja ketika dia ngomong begitu dan
mengambil sebuah spidol whiteboarder. Aku memperhatikan Abraham yang
mulai melukis. Namun sadar tidak sadar ternyata lukisan di lemarinya itu
adalah lambang Salib dengan ukuran besar saat itu aku terkejut, namun
aku tahan untuk tidak terkejut. Saat itu dia terus melukis di bawahnya
sebuah kata “Yesus” tiba- tiba mulutku kering. Aku tidak bisa menahan
keterkejutanku seolah-olah aku ditampar dengan palu. Saat aku terkejut
dia berkata “Ini lukisanku!” kemudian dia menutup pintu lemari dan
keluar dari kamar.Cuma itulah laporan saya hari ini.” Rohli menceritakan
semua kejadian tadi siang yang membuatnya pucat pasi.
Kami bertiga yang mendengarnya terkejut bukan main, maka telah nyata
kecurigaan kami selama ini, Abraham sesat. Diskusi yang berlangsung di
pojokan kamar tidak terasa menyita waktu sekitar dua jaman. Jam
menunjukkan pukul setengah satu malam aku beranjak menghidupkan lampu
kamar, melihat-lihat mungkin saja Abraham ada di kamar tidur diantara
teman -teman yang sudah lelap namun ternyata dia tidak ada. Aku menjadi
marah. Aku bergegas mencarinya di kamar mandi tidak ada, di Masjid juga
tidak ada. Aku kembali lagi ke kamar menyuruh tiga teman untuk
membongkar lemarinya, setelah didobrak ternyata benar apa yang dikatakan
Rohli. Gambar salib terlihat dibalik pintunya lengkap dengan nama
Yesus. Tanganku langsung merayap di sela-sela lemarinya, mencari
bukti-bukti lain, mulai dari bawah yang berisi peralatan mandi sampai
keatas yang berisi baju-baju kemudian saat tanganku sampai di sela-sela
pakaian, aku menyentuh benda yang selama ini aku incar, yaitu buku hitam
kecil seukuran saku lengkap dengan tempat pulpennya yang sering
disimpan di saku jubah sebelah kanan. aku ambil buku itu dan menutup
kembali pintu lemari sambil mencari tempat untuk membaca isi buku dan
inilah tulisan- tulisan Abraham dalam buku hitam seukuran saku itu.
Di lembaran pertama tepi atas tertulis kalimat Basmalah arab yang jelek. Di bawahnya tertulis:
Lembaran pertama hari pertama;
Mama, ini hari pertama Abraham di pondok pesantren, suasananya
tenang, di sudut- sudut kamar, Abraham melihat para santri membaca buku
berkertas jingga bertulis arab. Hari ini Abraham bahagia.
Lembar kedua hari kedua;
Mama, Abraham sekarang bersama-sama para santri Shalat di Masjid,
ternyata membuat hati Abrahan tenang. Hari ini Abraham bahagia.
Lembar ketiga hari ketiga;
Mama,kini Abraham sudah membawa kitab walaupun Abraham hanya bisa mendengarkan saja tapi Abraham bahagia.
Lembar ke tujuh hari ketujuh;
Mama, kini Abraham telah tujuh hari di pondok pesantren tapi sampai
hari ini tidak ada satu pun orang di kamar menemani Abraham, tapi
Abraham tetap harus sabar.
Lembar ke delapan hari kedelapan;
Mama, kini orang-orang kamar tidak hanya menjauhi Abraham tetepi mereka juga ngomongin Abraham di pojokan kamar. Abraham sedih.
Lembar ke sembilan hari ke sembilan;
Mama, Abraham tidak tidur di kamar lagi karena Abraham tidak tahan di omongin macam-macam. Abraham sangat sedih.
Hari ke sepuluh;
Mama, Abraham rindu Mama, kini orang-orang di kamar masih sering
kepergok ngomongin Abraham bahkan ada yang menatap Abraham dengan
benci. Mama! Abraham mau nanya : Apakah salah jika Abraham berdo’a pada
malam minggu sebagai selametan malam kelahiran Abraham seperti yang
ditulis Kakek.
Lembar ke sebelas hari ke dua belas;
Mama, Abraham minta maaf karena foto kakek dan Tasbih peninggalanya
hilang. Abraham tidak tahu siapa yang mengambil, Abraham menaruhnya di
saku jubah sebelah kiri. Hari ini Abraham sangat sedih.
Lembar ke dua belas hari ketiga belas;
Mama,kini orang-orang yang sering ngmongin Abraham di pojokan kamar
satu-persatu mendekat dan menemani Abraham, tapi Abraham tahu kalau
mereka cuma berpura-pura, soalnya mata mereka melirik-lirik
barang-barang Abraham. Abraham tak tahan lagi di sangka orang jahat
Abraham sudah mencoba bersabar seperti yang dikatakan mama tapi Abraham
tidak kuat.
Lembaran terakhir dari lima belas hari;
Mama, kini Abraham mulai goyah dan ingin kembali bertanya kepada
Mama tentang tiga hal. Pertama, kenapa dua bulan yang lalu Mama
mengajak Abraham untuk masuk Islam. Kenapa kita pindah Agama? Kedua,
apakah Mama sudah memikirkan sebelumya untuk memutuskan menjadi Muallaf?
Ketiga, benarkah kakek Abaraham seorang Muslim. Oh iya , tadi siang aku
tulis lambang Salib di pintu lemari sebagai tanda kalau Abraham sedang
goyah tapi Abraham sampai sekarang masih seorang Muslim. Ma, tolong
pertanyaan Abraham dijawab. Besok Abraham pulang.
Setelah membaca tulisan terakhir dari tulisan-tulisan Abraham
tanganku gemetar. Aku tak bisa bergerak, air mataku tumpah, aku sekarat
dan ingin berteriak tapi tidak bisa. Ingin sekali membenturkan kepala ke
tembok dan meninju tiang-tiang kamar tapi tetap aku tak bisa bergerak.
Aku kini menjadi seorang sekarat. Orang kafir macam apakah aku ini,
kenapa aku begitu bodoh. Kenapa tindakanku hampir membuat orang untuk
murtad kembali. Apa yang aku pikirkan selama ini.
Lama sekali aku meracau namun secara perlahan tanganku mulai
bergerak, aku sudah mulai sadar dari titik koma. Aku melihat lemari
Abraham dan langsung berlari mencari orangnya. Aku mencari di belakang
blok, di setiap kamar mandi, di masjid tapi tidak kutemukan. Aku mencari
di tempat wudlu masih tidak ada. Ketakutan menghampiriku, bagaimana
kalau Abraham sampai pulang. Ya Tuhan, ampuni dosaku, ya Allah
tolonglah. Akuterus melari mencari Abraham sambil berdzikir La ilaha
illallah.
Dengan beruntung aku melihat bayangan Abraham sedang duduk bersila di
dekat makam para kiai, di bawah pohon Bindengyang angker, di atas
hamparan krikil putih. Aku melangkahkan kaki pelan kemudian berhenti
sebentar untuk mengintip Abraham dari balik pohon Mangga. Air mataku tak
henti-hentinya mengalir. Aku melihat Abraham di sana sedang menangis,
suara sunggukannya terdengar sampai ke telinga. Matanya nanar, air mata
dan lendir hidungnya berlomba-lomba jatuh kelembaran mushaf yang hanya
dibuka,hingga mungkin telah basah ke lembaran tiga ratus.
Assalamualaikum,..Hatiku remuk jiwaku hacur dan ragaku ini lemah tak
ada daya.Perlahan aku langkahkan kaki mendekati Abraham kemudian
merangkak diatas hamparan kerikil putih. Dengan pelan aku duduk di
sampingnya sambil terus menangis. Abraham yang sedang menangis menatapku
kemudian mengusap air matanya dan menutup Al-Qu’ran yang di halaman
pertama surah Al-Baqoroh Alif-Laam-Miim-nya basah dan rabun. Aku
menghambur dan menyambar tangannya, menumpahkan segala sesuatu yang bisa
kutumpahkan. Aku meminta maaf dan mengakui segala kesalahan dan
prasangka. Lama aku tertunduk dan menangis. Abraham pun tidak berkata
apa-apa, dia membiarkan tangannya basah oleh mataku. Setelah beberapa
lama barulah dia bicara :
“Sudahlah saudaraku. aku sudah memaafkanmu.Lebih baik mulai besok
kamu ajari aku bagaimana mengerjakan Shalat dengan benar. Yah!”..
wassalam
Tebuireng, 14 Maret 2012
Ditulis oleh Zainuddin AK Bin Sugendal
*Juara 2 Lomba Cerpen Islami 2012 oleh Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng
di edit frame wong alit.